Literasi – Bung Hatta tak sedang berpuisi manakala melontarkan kalimat ini. Di tengah kesibukan, beliau menggumuli buku saban hari selama berjam-jam.
Ketika bepergian, kopernya pasti penuh buku. Dalam jeruji sel yang mengekang raga, buku jadi teman hidup yang membebaskan jiwa dan pikirannya –dan akhirnya membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kolonialisme lewat ikrar Proklamasinya bersama Bung Karno.
Saat pandemi Covid-19 menyergap dan memaksa dunia “diam sementara di rumah”, banyak orang merasa terpenjara, termasuk saya. Ruang gerak untuk melakukan ini dan itu begitu terbatas. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan…. saya mulai mengerti bagaimana rasanya di penjara. Dalam penat yang menguji akal sehat, saya melirik kembali buku-buku di pojok rumah yang beberapa di antaranya belum dibaca sama sekali.
Saya pun berpikir keras kapan pernah membeli buku-buku tersebut dan mengapa tak kunjung tersentuh. Kesibukan selama ini rupanya membuat saya pongah. Saya berpikir membaca buku adalah kegiatan “sampingan” jika ada waktu lebih. Bukan makanan pokok yang menutrisi jiwa dan pikiran. Saya cuma lapar mata saat membelinya.
Dalam “penjara” inilah saya baru sadar betapa berharganya arti sebuah buku. Ia bukan sekadar goresan tinta dalam gelai-helai kertas. Ia menjelma ruh yang hidup manakala saya membacanya. Ia membawa pikiran bertualang bebas ke mana pun saya inginkan. Saat merenungkannya, ia menimbulkan gado-gado rasa yang menghujam empati dan kesadaran saya sebagai manusia yang kompleks. Singkatnya, buku memerdekakan saya.